Kenakalan Remaja Di Mata Hukum

Anak dan remaja adalah salah satu sumber daya manusia, potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa dengan peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus. Mereka memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

Namun, terkadang dalam kehidupan anak, khususnya Remaja, “waktu kosong” mereka merupakan tempat melampiaskan emosi muda dengan sembarang. Contoh yang sederhana adalah merokok. Dari mana hal itu berasal? Mungkin dimulai dari coba-coba, ditawari teman, yang lambat laun menjadi kebiasaan atau menjadi Madat (ketagihan). Kalau cuma merokok, secara Hukum masih bisa ditolerir, bagaimana jika kebablasan ketagihan yang lebih membahayakan (Narkotika atau Psikotropika). Mengerikan bukan?

Bagi anak remaja yang sadar, baik dari dirinya sendiri atau dari orang tua, guru, lingkungan, “waktu kosong” tadi telah tersita oleh padatnya waktu belajar dan aktivitas ekskul (Ekstra Kurikuler), di sekolah atau berbagai macam kursus yang mereka ikuti. Tetapi, bagaimana dengan mereka yang masih memiliki “waktu kosong” yang tidak terisi, sementara orang tua waktunya tersita untuk memenuhi tanggungjawab ekonomi? Masalah Serius Penelantaran Anak.

Mereka sudah tidak lagi memiliki waktu untuk memperhatikan anak yang sedang menggenggam “waktu kosong” tersebut. Itu ibarat bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Belum lagi soal kriminalitas anak, ketidakpedulian anak. Oleh karena itu, “waktu kosong” mereka adalah jeda waktu yang harus mendapat pengawasan dari orang tua, guru maupun lingkungan, karena jika tidak, mereka akan lepas kontrol.

Hukum Perlindungan Anak

Sejak masa dalam kandungan, balita, kanak-kanak, remaja, dewasa dan tua, Hukum telah ada dan mengaturnya. Sebagai contoh, seorang anak yang masih ada dalam kandungan ibunya, telah dilindungi oleh Hukum. Ia telah dianggap ada dan memiliki Hak sebagaimana anak-anak yang telah lahir dan hidup dalam suatu keluarga.

Dalam UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Demikian juga pengertian anak menurut UU. No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tetapi, dalam UU. No. 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.

Sementara dalam UU. No. 1 tahun 1974, tentang Perkawinan, dikatakan, bahwa kewajiban orang tua adalah memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Hal itu berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban tersebut terus berlaku, meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Sebaliknya, anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik, dan jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya. Orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuan.

Pengertian Anak Nakal

Yang menarik, perlu kita cermati, adalah definisi “anak nakal” menurut UU. No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. “Anak nakal” adalah: (a). Anak yang melakukan tindak pidana; atau (b). Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan, maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Sedangkan yang dimaksud dengan “anak,” adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah kawin. Bagi anak yang belum mencapai umur delapan tahun yang diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik.

Bila menurut pendapat penyidik anak tersebut masih dapat dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada mereka. Namun, apabila menurut penyidik anak dimaksud tidak dapat dibina lagi, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial, setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan (Pasal 5 UU. No. 3 tahun 1997). Pola Pendidikan Islam Pada Keluarga.

Sedangkan bagi anak yang telah mencapai umur delapan tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah kawin, yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, maka perkaranya wajib disidangkan pada pengadilan anak yang berada di lingkungan peradilan umum.

Sumber: Konsultasi Hukum Refomarta

 

Kenakalan Remaja Di Mata Hukum

Recommended For You

About the Author: Keluargaku

Lentera Keluarga turut mengantar menuju masyarakat Indonesia yang mandiri dan sejahtera

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *