Pengasuhan Anak di Kalangan Eksekutif

Mengasuh anak itu gampang-gampang susah. Terasa gampang, misalnya, bila si anak patuh pada petunjuk dan pengarahan dari orangtuanya. Dan bisa sangat sulit, kalau anak bukan cuma sekadar tak patuh, tapi malah membangkang. Si anak bukan cuma tak sesuai dengan keinginan orangtua, tapi tumbuh menjadi pribadi yang nakal, bodoh, menyebalkan. Dan problema semacam ini ternyata semakin lumrah dalam kehidupan keluarga modern.

Bagi keluarga pejabat dan eksekutif puncak, problema itu dirasakan lebih akut. Mereka banyak menghadapi kesulitan, antara lain karena mereka begitu terserap dengan pekerjaan kantor. Dan anak-anak di rumah terabaikan. Namun, itu tak berarti bahwa mereka lebih mementingkan pekerjaan dan kariernya.

Bagaimanapun, pikiran mereka terpaut juga ke anak-anaknya di rumah, namun tidak banyak bisa berbuat untuk menolong buah hati mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar manajer dan eksekutif puncak di perusahaan raksasa yang bergerak di bidang telekomunikasi AT&T (American Telephone and Telegraph) justru menderita stres yang berlebihan karena memikirkan nasib anak-anaknya ketimbang memikirkan krisis dalam kariernya.

Kecemasan itu memang beralasan. Kurangnya perhatian orangtua bisa membuat anak frustrasi. Berita-berita di media massa yang menceritakan ulah para remaja dari keluarga broken home telah membuat para eksekutif ketar-ketir. Soalnya, remaja itu bukan cuma nakal, tapi sudah menjurus ke tindak kriminal.

Anak-anak para pejabat atau eksekutif ternyata hidupnya tak selalu ceria. Memang, mereka dibesarkan dalam lingkungan yang mewah dan serba ada. Namun, di balik itu, mereka menderita tekanan batin — mungkin disebabkan kurangnya komunikasi batin antara anak dan orangtua. Apalagi dalam kondisi masyarakat sekarang, manakala wanita tak melulu berperan sebagai ibu rumah tangga tapi juga mempunyai peran lain di luar rumah. Dan istri pejabat ataupun eksekutif tentu ikut disibukkan oleh kegiatan-kegiatan sosial. Mana yang Lebih Utama bagi Wanita, Karier atau Keluarga?

Kasih Sayang dan Perhatian Orangtua

Bagaimanapun, Soal kasih sayang dan perhatian orangtua kepada anak tak bisa digantikan oleh lembaga lain selain orangtua itu sendiri. Kalau sebatas pendidikan secara umum, peranan itu masih bisa diambil alih oleh sekolah. Tapi pendidikan akhlak, misalnya, tentu tak bisa diborongkan begitu saja lewat kurikulum sekolah. Peranan orangtua di rumah justru lebih dominan. Dan semua orang tahu, anak yang akhlaknya kurang baik, prestasi belajarnya juga sering memprihatinkan.

Repotnya, para eksekutif atau pejabat yang sukses biasanya larut dalam irama kerja di kantornya. Mereka mau tak mau harus bekerja rutin 12 sampai 15 jam seharinya. Dalam hal pekerjaan, mereka sudah terbiasa dengan ketidaksabaran. Semuanya diukur dengan efisiensi dan efektivitas. Kondisi-kondisi itulah yang kemudian di pindahkan ke rumah.

“Hal yang serupa juga ingin diterapkan kepada anak-anaknya,” begitu kata Susan Davies Bloom, seorang pakar psikiater dari Connec ticut. Orangtua zaman sekarang menginginkan anaknya sesuai dengan desain yang diciptakannya sendiri.

“Tak ada orangtua yang menginginkan anaknya biasa-biasa saja. Mereka menginginkan anaknya pintar dan masuk sekolah yang terkenal di lingkungannya,” ujar Caro Perry, direktur penyuluhan pada sebuah sekolah di Manhattan.

Tuntutan semacam ini biasanya membuat hubungan anak dengan orangtua kian runyam. Coba saja, hampir tiap hari sang ayah menegur anaknya dengan kata-kata yang berkaitan dengan sekolah. “Bagaimana kamu di sekolah hari ini? Ulangannya dapat nilai berapa?” Pertanyaan seperti itu, tanpa disadari orangtua, ternyata sangat menakutkan bagi si anak. Dan seperti biasa, pertanyaan itu ditimpali seadanya. “Begitu, deh,” jawab si anak, acuh tak acuh.

Memang, orangtua selalu berpatokan bahwa angka rapor yang baik dapat membuat si anak masuk perguruan tinggi terkenal. “Tapi itu tak menjamin bahwa kehidupan si anak juga bakal sukses,” kata Robert Klitgaard dari Harvard Kennedy School. Menurut dia, sukses di sekolah tak sama seperti sukses di kantor.

Seorang pejabat atau eksekutif dalam meniti karier memang hanya mengkonsentrasikan diri pada bidang yang sudah dikuasainya. Dia juga mampu menghindari atau mendelegasikan hal-hal yang tak bisa diatasinya. Lain halnya seorang anak, yang harus menyelesaikan pekerjaan rumahnya, tanpa bisa berkonsultasi dengan seorang sarjana dari Harvard.

Bagaimanapun, ada dugaan bahwa kecerdasan seorang anak tak jauh berbeda dengan yang dimiliki orangtuanya. Rata-rata sekitar 7% anak-anak kemungkinan memiliki kecerdasan 15 poin lebih tinggi atau lebih rendah dari IQ orangtuanya. Dan hanya 1 dari 1.000 anak biasanya memiliki 30 poin lebih tinggi dari orangtuanya.

Alhasil, Anda sebaiknya tak perlu ngotot memaksakan kehendak Anda kepada anak-anak. Yang penting, sediakan waktu untuk kebersamaan dan berikan perhatian secukupnya. Ada sebuah renungan Jangan Merenggut Harapan dan Masa Depan Anak

 

Pengasuhan Anak di Kalangan Eksekutif

Recommended For You

About the Author: Keluargaku

Lentera Keluarga turut mengantar menuju masyarakat Indonesia yang mandiri dan sejahtera

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *