Penipuan online semakin hari semakin menggemaskan. Ada SMS yang minta dikirim pulsa karena ditahan polisi. Ada yang menawarkan hadiah atau hasil undian. Ada yang minta transfer uang ke rekening tertentu. Ada yang iming-iming seminar. Ada pula yang arisan atau bisnis online.
Itu hanya beberapa modus operandinya, dan tentu masih banyak lainnya. Mereka menyusup ke gadget kita, mulai dari ponsel hingga tablet. Sosial media pun sarat dengan simpang-siur penawaran penipuan ini. Hampir tiada hari yang bebas dari tampilan iming-iming penipuan ini ke dalam hidup kita.
Begitulah penipuan online telah membawa korban tak terhitung jumlahnya. Pada tahun 2013 lalu, pernah terjadi kasus yang cukup ramai tentang penipuan online investasi valuta asing dengan website pandawainvesta.com. Modusnya, menjanjikan keuntungan 50%, 70%, 100%, bahkan 300% kepada korbannya, dan itu bergantung nilai investasi trading. Pelaku yang ternyata mahasiswa itu telah menjaring 338 nasabah dan meraup Rp 40 miliar.
Mengapa penipuan online terjadi?
Ada empat unsur terlibat di dalamnya: penipu, yang tertipu, barang-jasa sasaran penipuan, dan modus. Penipu bisa menjalankan modusnya untuk mengeruk barang-jasa orang tertipu, karena si penipu “hebat” dalam memahami dunia ide si tertipu.
Si tertipu adalah bagian dari masyarakat pemimpi akibat konsumerisme dan hedonisme berkat hasratnya meraih apa yang diinginkan. Amat boleh jadi mereka hendak lari (escape) dari keruwetan dan kejenuhan, dan mencari zona nyaman. Mereka pun tak segan membeli gengsi dan merek.
Terlebih, dunia media (dengan segala kuasa kulturalnya yang hegemonik) telah menguatkan hasrat masyarakat atas “mimpi” mereka. Tiap hari mereka terbius oleh acara-acara tivi semacam acara kuis, bedah rumah, rezeki nomplok, dan lain-lain yang berlipat dibanding income keseharian. Diam-diam mereka menjadi iri dan/atau dengki.
Ketika ada outlet untuk memperoleh zona nyaman, mereka tak segan “membarter” apapun dan berapapun untuk meraup “rezeki” dengan cara instan. Mereka ikut kuis berhadiah jutaan, sesuatu yang mustahil diperoleh dengan bekerja normal. Mereka investasikan modal untuk mengeruk keuntungan secepatnya.
Hasrat konsumerisme dan hedonisme masyarakat inilah peluang besar yang dibidik oleh penipu. Jadi, penipu itu pintar dan jeli membaca “mimpi” masyarakat meski hanya dalam dunia ide. Apa yang diinginkan masyarakat adalah simbol-simbol konsumerisme dan hedonisme—dan itu harus dibeli lewat modus yang melenakan.
Karena itu, modus operandi penipu pastilah canggih dan cerdas. Jika tak canggih dan cerdas, mustahil penipu minta dikirim pulsa, menawarkan hadiah/hasil undian, minta transfer uang, mengiming-iming seminar, atau membuka arisan dan bisnis online. Meyakinkan orang, itu butuh kecerdasan kognitif, emosional, dan talenta sosial-psikologis yang hebat.
Pada kasus di atas tampak bahwa 338 nasabah bukan orang yang bodoh, tapi mereka orang terlena oleh mimpi untuk meraup uang banyak dengan cara instan. Saking terlenanya—seperti sedang dibuai mimpi— mereka tak sadar sedang dibius dengan modus canggih dan cerdas yang dilancarkan oleh si penipu yang masih mahasiswa itu.
Si penipu menjual mimpi, dan para nasabah membelinya. Sebagai kriminal, penipu itu pasti berpikir dan bertindak selangkah lebih maju daripada kesadaran manusia biasa atau bahkan polisi. Modus operandi kriminal ditemukan sebelum dipelajari polisi. Kriminal sering tak terduga. Ini berlaku di seluruh muka bumi ini.
Kesadaran Konsumerisme dan hedonisme
Konsumerisme dan hedonisme adalah persoalan gaya hidup. Dengan demikian, penipuan online sejatinya juga bersumber dari gaya hidup masyarakat. Selagi gaya hidup tetap mengibarkan keserakahannya, penipuan online akan muncul dengan berbagai modusnya. Selalu ada peluang untuk dimasuki oleh para penipu.
Kesadaran kritis-lah yang dapat mengerem lajunya penipuan online. Kesadaram kritis akan mendekonstruksi pemikiran dan hasrat konsumtif dan hedonis, dari keinginan (want) ke kebutuhan (need). Setidaknya, kesadaran kritis akan memberikan penafsiran cerdas dan hati-hati terhadap modus operansi penipuan yang mengancamnya.
Terlebih jika kesadaran kritis bekerja secara komulatif dalam relasi sosialkultural masyarakat, sehingga menjadi sebuah bangunan kesadaran kolektif (collective conscience) untuk melawan penipuan online. Jika tidak habis, kastil dan jaringan penipuan online akan rontok secara sporadis dan perlahan.
Meski demikian, kesadaran kritis tak akan berdaya apa-apa tatkala hasrat konsumerisme dan hedonisme tetap bercokol dan mengendon lebih dalam di dasar akal budi kita. Kesadaran kritis akan mandul jika eskapisme diri kita malah men-sah-kan berkuasanya konsumerisme dan hedonisme.
Maka, sekali lagi, masyarakat sepatutnya segera membangun kesadaran kritisnya sebagai kurasi dan terapi bagi hasrat busuk konsumerisme dan hedonisme semu, dan sebagai filter dan tameng atas gempuran berbagai modus penipuan online yang kian merajalela.
Selama masyarakat masih memuja konsumerisme dan hedonisme semu, penipuan online akan terus bertumbuhberkembang, tak peduli seberapa maju suatu masyarakat. Kini, terserah masyarakat, apakah mau memberantas ataukah mempeluangi penipuan online?
Awas Penipuan Online – Lentera Keluarga